Bagian 1
Pada mulanya. . .
Menulis catatan yang disebut “blog” adalah hal yang lazim dikerjakan oleh para pekerja Teknologi Informasi terhadap sistem yang mereka urus. Sama jamaknya dengan budaya menulis buku harian, catatan perjalanan, editorial media, sampai dengan notulensi pertemuan organisasi. Semua tulisan yang disebut tadi dibuat berdasarkan kerangka waktu dalam melihat peristiwa.
Tidak ada yang baru sampai dengan ditemukan cara agar catatan-catatan tersebu lebih mudah dipublikasikan, lebih mudah dibaca orang lain, dan penulisnya memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan pembaca dengan lebih mudah.
Blog adalah pemenggalan dari kata weblog dan menurut tulisan Enda Nasution, istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada 1997 [NAS]. Kendati cikal-bakal situs Web yang bercorak blog sudah muncul sebelum disebut secara spesifik oleh Barger, kondisi tekologi Web saat itu masih merupakan kendala besar. Memiliki sebuah situs Web masih merupakan kesulitan tersendiri. Hingga akhirnya pada 1999 Blogger, saat itu sebuah perusahaan rintisan,menyediakan layanan gratis dan berbayar untuk penyusunan blog. Penetrasi Blogger ini menjadi penyebab awal ledakan jumlah blog. Berbeda dengan layanan tempat hosting gratis yang sudah ada, penyedia blog tidak berbicara apa-apa tentang nama berkas atau sintaks HTML untuk menyusun sebuahWeb pribadi, melainkan menyodorkan tanggal sebagai titik-acuan. Pemakainya dapat berpikir praktis: saya hendak menuliskan catatan pada tanggal sekian.
Dilihat dari sisi rentang waktu hingga aktivitas blog meledak pada tahun 2004[DIR], “sosialisasi” blog perlu waktu sekitar lima tahun hingga diterima oleh kalangan yang sangat luas. Pada rentang waktu tersebut, blog sudah menjelma menjadi banyak kemungkinan: koleksi taut Internet – lebih variatif dibanding yang disodorkan Tim Berners-Lee, koleksi artikel – ratusan ribu orang menuliskan sikap dan memberi masukan, koleksi foto (photoblog) – pemberi semangat baru pada album foto yang sebelumnya statik, forum diskusi komunitas atau publik – menjelma menjadi ribuan Speakers’ Corner ala Hyde Park, London.
Kondisi kita di Indonesia saat ini: riuh-rendah blog sudah berimbas, penulisblog berjumlah lebih dari sepuluh ribu orang [DIRa], pemakai Internet sekitar dua belas juta orang, kebebasan menulis blog boleh dikatakan sejauh ini tidakada persoalan berarti, dan ongkos koneksi Internet masih mahal.
1.1 Saya menulis [di blog], maka itulah saya
Di sebuah tempat di Belanda, ada tulisan yang agaknya terinspirasi oleh ungkapan sohor Rene Descartes6, ik schrijf, dus ben ik. Motivasi terbesar bagi pemilik blog adalah mencatatkan aktivitas atau gagasannya, bukan memiliki blog. Dengan demikian, pertanyaan, “Apakah Anda sudah memiliki blog?”sebaiknya diganti menjadi “Apakah Anda sudah mencatatkan sesuatu di blog?”
Memiliki blog adalah pekerjaan yang sangat mudah saat ini. Setiap orang yang berbekal akses Internet dapat mengumpulkan sebanyak mungkin akun blog (representasi kepemilikan blog) yang menurutnya menarik. Namun yang lebih penting adalah kesediaannya untuk menulis. Kecintaan akan melakukan pencatatan,ketekunan untuk mengolah ide, atau kerajinan mengumpulkan hasi kerja (foto, puisi, kodE sumber
pemrograman, analisis di lab) inilah yang menggerakkan aktivitas blog.
Pada sebuah diskusi di milis (mailing list) di sekitar tahun 1998, salah seorang teman mengomentari saya bahwa email yang saya kirim selalu menggunakan“bahasa yang indah”. Milis yang kami ikuti “hanya” sebuah milis paguyuban dan pertama kali saya membaca komentar itu sambil menimbang-nimbang: apa yang dia maksudkan dengan “indah” di situ? Ternyata si penulis komentar mencermati kebiasaan saya yang berusaha menulis email dengan bahasa Indonesia baku. Baik sedang mengikuti diskusi serius atau sedang bercanda dimilis, saya berusaha tetap berbahasa Indonesia baku – hanya pemilihan ungkapan yang saya ganti dari serius menjadi santai, atau sebaliknya.
Dalam sebuah diskusi yang lain saya memperoleh testimoni yang sedikit mengagetkan:
ada satu atau dua anggota milis yang menyimpan tulisan saya atau sesekali mencetaknya di atas kertas (hard copy). Saya melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang melecut: segala sesuatu jika dikerjakan sungguh-sungguh dan dengan kecintaan kemungkinan besar dapat bermanfaat bagi orang lain. Artinya, saya perlu sebuah tempat penyimpanan artikel (repository) yang lebih terorganisir rapi – lebih dari sebuah milis yang repot pengelolaannya.
Apabila sebelumnya saya sempat menjadi pengajar materi Web dan pemrogramannya, baru pada tahun 2002 saya mulai menekuni pekerjaan mengelola situs Web dengan serius. Selain untuk keperluan organisasi yang saya ikuti, koleksi beberapa tulisan pribadi mulai saya publikasikan. Rencana yang saya susun sederhana: jika diperlukan sebagai kutipan untuk diskusi di milis misalnya, saya cukup menyebut URI kutipan. Dengan latar belakang pemrograman yang saya miliki, pemuatan sebuah artikel ke situs Web dapat dilakukan secara otomatis. Oh ya, saya mulai mengumpulkan tulisan!
Saat itu saya telah mendengar istilah blog terutama Blogger.com yang mulai
disebut-sebut di beberapa situs. Namun demikian, saya belum tertarik dengan“gaya” blogging yang didengung-dengungkan. Sampai akhirnya pada pertengahan tahun 2004, Hatami Nugraha, salah satu teman yang dikenalkan lewat Yahoo! Messenger, menunjukkan perangkat lunak Movable Type. Setelah saya coba menyusun templat, memindahkan artikel yang sudah ditulis, saya mulai menyadari beberapa konsep yang tersedia secara praktis di Movable Type.
Ditambah beberapa kunjungan ke situs-situs yang membicarakan standar Web,
saya merasa sudut pandang yang disodorkan alat bantu blog cocok dengan konsep Web yang saya anut. Alhasil, saya mulai menulis lewat blog karena: praktis dan konsep yang digunakan cocok dengan anggapan saya.
1.2 “Gue banget” hingga “bersama kita bisa”
Salah seorang teman yang sudah menerjemahkan belasan buku dan aktif di dunia perbukuan mengemukakan kejengahannya membaca beberapa blog yang pernah dikunjungi. “Waktu masih remaja, kami selalu dinasehati agar buku harian disimpan baik-baik di dalam lemari. Tidak diumbar seperti cerita-cerita di dalam blog,” demikian keberatan dia. “Kalau demikian, kira-kira apa motivasi penulisnya?,” saya balik bertanya. Dia menjawab dengan gaya anak muda, “Aktualisasi diri, coy!” Saya mendapatkan ungkapan akan kondisi tersebut yang justru tumbuh dan berkembang dalam budaya blog dan kelengkapan yang menyertainya: gue banget! Jika diamati secara sekilas, blog yang berisi catatan aktivitas harian penulisnya memang masih menempati porsi lebih besar. Sebagian malah terlihat membawa pandangan dirinya secara emosional (dari sisi perasaan) dalam takaran berlebih. Selain hal ini merupakan konsekuensi dari Internet yang bersifat terbuka dan global – yang secara otomatis diterjemahkan menjadi, “Saya bisa berbicara kepada dunia!” – blog sendiri sebagai perpanjangan catatan harian memang membawa diri penulisnya dengan sangat personal. Ditambah pernakpernik alat bantu blog dan kelengkapannya, tag HTML dan CSS12, dan alat-alat bantu multimedia, menjadi sebuah tuntutan untuk menyajikan blog yang menjadi representasi pengelolanya. Sebuah blog yang gue banget! dari sisi pemiliknya.
Sisi sebaliknya dari kondisi di atas adalah kemungkinan sangat potensial untuk mengembangkan sebuah deposit pengetahuan dan budaya publik lewat untai manik-manik publikasi personal berupa blog. Deposit publik yang dimaksud adalah tingkat kepemilikan khalayak akan pengetahuan dan budaya. Kira-kira dapat digambarkan seperti ini: teori relativitas Einstein konon sulit dijelaskan dan diterima publik – termasuk akademisi – pada tahun 1940-an, namun sekarang ini sudah menjadi sesuatu yang akrab bahkan bagi siswa sekolah lanjutan.
Internet datang di Indonesia tidak melewati proses yang panjang seperti halnya di negara asalnya. Masyarakat kita menerima Internet sudah pada saat era dot-com berlangsung. Semangat awal untuk berbagi seperti pada saat Internet masih berkutat di universitas dan lembaga penelitian di Amerika Serikat acapkali terlewat. Alih-alih menunggu inisiatif dari pihak-pihak besar memulai penyediaan materi yang diperlukan di Internet, momen ini bisa “dicuri” oleh publik sebab publikasi materi lewat Web secara swadaya bukan sesuatu yang muskil.
Yah, seperti jargon sebuah partai, “Bersama Kita Bisa”.